PERANG BADAR
غزوة بدر
غزوة بدر
Pertempuran Badar (bahasa Arab: غزوة بدر, ghazwāt badr), adalah pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan musuh-musuhnya. Perang ini terjadi pada 17 Maret 624 Masehi atau 17 Ramadan 2 Hijriah. Pasukan kecil kaum Muslim yang berjumlah 313 orang bertempur menghadapi pasukan Quraisy dari Mekkah
yang berjumlah 1.000 orang. Setelah bertempur habis-habisan sekitar dua
jam, pasukan Muslim menghancurkan barisan pertahanan pasukan Quraisy,
yang kemudian mundur dalam kekacauan.
Sebelum pertempuran ini, kaum Muslim
dan penduduk Mekkah telah terlibat dalam beberapa kali konflik
bersenjata skala kecil antara akhir 623 sampai dengan awal 624, dan
konflik bersenjata tersebut semakin lama semakin sering terjadi.
Meskipun demikian, Pertempuran Badar adalah pertempuran skala besar
pertama yang terjadi antara kedua kekuatan itu. Muhammad saat itu sedang
memimpin pasukan kecil dalam usahanya melakukan pencegatan terhadap kafilah Quraisy yang baru saja pulang dari Syam,
ketika ia dikejutkan oleh keberadaan pasukan Quraisy yang jauh lebih
besar. Pasukan Muhammad yang sangat berdisiplin bergerak maju terhadap
posisi pertahanan lawan yang kuat, dan berhasil menghancurkan barisan
pertahanan Mekkah sekaligus menewaskan beberapa pemimpin penting
Quraisy, antara lain ialah Abu Jahal alias Amr bin Hisyam.
Bagi kaum Muslim awal, pertempuran ini sangatlah berarti karena
merupakan bukti pertama bahwa mereka sesungguhnya berpeluang untuk
mengalahkan musuh mereka di Mekkah. Mekkah saat itu merupakan salah satu
kota terkaya dan terkuat di Arabia zaman jahiliyah.
Kemenangan kaum Muslim juga memperlihatkan kepada suku-suku Arab
lainnya bahwa suatu kekuatan baru telah bangkit di Arabia, serta
memperkokoh otoritas Muhammad sebagai pemimpin atas berbagai golongan
masyarakat Madinah yang sebelumnya sering bertikai. Berbagai suku Arab
mulai memeluk agama Islam dan membangun persekutuan dengan kaum Muslim
di Madinah; dengan demikian, ekspansi agama Islam pun dimulai.
Kekalahan Quraisy dalam Pertempuran Badar menyebabkan mereka
bersumpah untuk membalas dendam, dan hal ini terjadi sekitar setahun
kemudian dalam Pertempuran Uhud.
Pada awal peperangan, Jazirah Arab dihuni oleh suku-suku yang berbicara dalam bahasa Arab. Beberapa diantaranya adalah suku Badui; bangsa nomad penggembala yang terdiri dari berbagai macam suku; beberapa adalah suku petani yang tinggal di oasis daerah utara atau daerah yang lebih subur di bagian selatan (sekarang Yaman dan Oman). Mayoritas bangsa Arab menganut kepercayaan politeisme. Beberapa suku juga memeluk agama Yahudi, Kristen (termasuk paham Nestorian), dan Zoroastrianisme.
Nabi Muhammad lahir di Mekkah sekitar tahun 570 dari keluarga Bani Hasyim dari suku Quraisy. Ketika berumur 40 tahun, ia mengalami pengalaman spiritual yaitu menerima wahyu ketika sedang menyepi di suatu gua, yakni Gua Hira
di luar kota Mekkah. Ia mulai berdakwah kepada keluarganya dan setelah
itu baru berdakwah kepada umum. Dakwahnya ada yang diterima dengan baik
tapi lebih banyak yang menentangnya. Pada periode ini, Muhammad
dilindungi oleh pamannya Abu Thalib.
Ketika pamannya meninggal dunia sekitar tahun 619, kepemimpinan Bani
Hasyim diteruskan kepada salah seorang musuh Muhammad, yaitu Amr bin
Hisyam, yang menghilangkan perlindungan kepada Muhammad serta meningkatkan penganiayaan terhadap komunitas Muslim.
Pada tahun 622, dengan semakin meningkatnya kekerasan terbuka yang
dilakukan kaum Quraisy kepada kaum Muslim di Mekkah, Muhammad dan banyak
pengikutnya hijrah ke Madinah. Hal ini menandai dimulainya kedudukan Muhammad sebagai pemimpin suatu kelompok dan agama.
Ghazawāt
Setelah kejadian hijrah, ketegangan antara kelompok masyarakat di
Mekkah dan Madinah semakin memuncak dan pertikaian terjadi pada tahun
623 ketika kaum Muslim memulai beberapa serangan (sering disebut ghazawāt dalam bahasa Arab) pada rombongan dagang kaum Quraisy Mekkah. Madinah terletak di antara rute utama perdagangan
Mekkah. Meskipun kebanyakan kaum Muslim berasal dari kaum Quraisy juga,
mereka yakin akan haknya untuk mengambil harta para pedagang Quraisy
Mekkah tersebut; karena sebelumnya telah menjarah harta dan rumah kaum
muslimin yang ditinggalkan di Mekkah (karena hijrah) dan telah
mengeluarkan mereka dari suku dan kaumnya sendiri, sebuah penghinaan
dalam kebudayaan Arab yang sangat menjunjung tinggi kehormatan. Kaum Quraisy Mekkah jelas-jelas mempunyai pandangan lain terhadap hal tersebut, karena mereka melihat kaum Muslim sebagai penjahat dan juga ancaman terhadap lingkungan dan kewibawaan mereka.
Pada akhir tahun 623 dan awal tahun 624, aksi ghazawāt semakin
sering dan terjadi di mana-mana. Pada bulan September 623, Muhammad
memimpin sendiri 200 orang kaum Muslim melakukan serangan yang gagal
terhadap rombongan besar kafilah Mekkah. Tak lama setelah itu, kaum
Quraisy Mekkah melakukan "serangan balasan" ke Madinah, meskipun tujuan
sebenarnya hanyalah untuk mencuri ternak kaum Muslim. Pada bulan January 624, kaum Muslim menyerang kafilah dagang Mekkah di dekat daerah Nakhlah, hanya 40 kilometer di luar kota Mekkah, membunuh seorang penjaga dan akhirnya benar-benar membangkitkan dendam di kalangan kaum Quraisy Mekkah. Terlebih lagi dari sudut pandang kaum Quraisy Mekkah, penyerangan itu terjadi pada bulan Rajab; bulan yang dianggap suci oleh penduduk Mekkah. Menurut tradisi mereka, dalam bulan ini peperangan dilarang dan gencatan senjata seharusnya dijalankan. Berdasarkan latar-belakang inilah akhirnya Pertempuran Badar terjadi.
Pertempuran
Di musim semi tahun 624, Muhammad mendapatkan informasi dari
mata-matanya bahwa salah satu kafilah dagang yang paling banyak membawa
harta pada tahun itu, dipimpin oleh Abu Sufyan dan dijaga oleh tiga puluh sampai empat puluh pengawal, sedang dalam perjalanan dari Suriah
menuju Mekkah. Mengingat besarnya kafilah tersebut, atau karena
beberapa kegagalan dalam penghadangan kafilah sebelumnya, Muhammad
mengumpulkan pasukan sejumlah lebih dari 300 orang, yang sampai saat itu
merupakan jumlah terbesar pasukan Muslim yang pernah diterjunkan ke
medan perang.
Muhammad memimpin pasukannya sendiri dan membawa banyak panglima utamanya, termasuk pamannya Hamzah dan para calon Kalifah pada masa depan, yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib. Kaum Muslim juga membawa 70 unta dan 3 kuda, yang berarti bahwa mereka harus berjalan, atau tiga sampai empat orang duduk di atas satu unta
Namun, banyak sumber-sumber kalangan Muslim pada awal masa itu,
termasuk dalam Al-Qur'an sendiri, tidak mengindikasikan akan terjadinya
suatu peperangan yang serius, dan calon khalifah ketiga Utsman bin Affan juga tidak ikut karena istrinya sakit.
Ketika kafilah dagang Quraisy Mekkah mendekati Madinah, Abu Sufyan
mulai mendengar mengenai rencana Muhammad untuk menyerangnya. Ia
mengirim utusan yang bernama Damdam ke Mekkah untuk memperingatkan
kaumnya dan mendapatkan bala bantuan. Segera saja kaum Quraisy Mekkah
mempersiapkan pasukan sejumlah 900-1.000 orang untuk melindungi kelompok
dagang tersebut. Banyak bangsawan kaum Quraisy Mekkah yang turut
bergabung, termasuk di antaranya Amr bin Hisyam, Walid bin Utbah, Syaibah bin Rabi'ah, dan Umayyah bin Khalaf.
Alasan keikut-sertaan mereka masing-masing berbeda. Beberapa ikut
karena mempunyai bagian dari barang-barang dagangan pada kafilah dagang
tersebut, yang lain ikut untuk membalas dendam atas Ibnu al-Hadrami,
penjaga yang tewas di Nakhlah, dan sebagian kecil ikut karena berharap
untuk mendapatkan kemenangan yang mudah atas kaum Muslim.
Amr bin Hisyam juga disebutkan menyindir setidak-tidaknya seorang
bangsawan, yaitu Umayyah ibn Khalaf, agar ikut serta dalam penyerangan
ini.
Di saat itu pasukan Muhammad sudah mendekati tempat penyergapan yang
telah direncanakannya, yaitu di sumur Badar, suatu lokasi yang biasanya
menjadi tempat persinggahan bagi semua kafilah yang sedang dalam rute
perdagangan dari Suriah. Akan tetapi, beberapa orang petugas pengintai
kaum Muslim berhasil diketahui keberadaannya oleh para pengintai kafilah
dagang Quraisy tersebut dan Abu Sufyan kemudian langsung membelokkan arah kafilah menuju Yanbu.
Rencana pasukan Muslim
"Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir". Al-Anfal: 7
Pada saat itu telah sampai kabar kepada pasukan Muslim mengenai
keberangkatan pasukan dari Mekkah. Muhammad segera menggelar rapat dewan peperangan,
disebabkan karena masih adanya kesempatan untuk mundur dan di antara
para pejuang Muslim banyak yang baru saja masuk Islam (disebut kaum Anshar
atau "Penolong", untuk membedakannya dengan kaum Muslim Quraisy), yang
sebelumnya hanya berjanji untuk membela Madinah. Berdasarkan pasal-pasal
dalam Piagam Madinah, mereka berhak untuk menolak berperang serta dapat meninggalkan pasukan. Meskipun demikian berdasarkan tradisi Islam (sirah),
dinyatakan bahwa mereka pun berjanji untuk berperang. Sa'ad bin Ubadah,
salah seorang kaum Anshar, bahkan berkata "Seandainya engkau (Muhammad)
membawa kami ke laut itu, kemudian engkau benar-benar mengarunginya,
niscaya kami pun akan mengikutimu."
Akan tetapi, kaum Muslim masih berharap dapat terhindar dari suatu
pertempuran terbuka, dan terus melanjutkan pergerakannya menuju Badar.
Pada tanggal 15 Maret, kedua pasukan telah berada kira-kira satu hari
perjalanan dari Badar. Beberapa pejuang Muslim (menurut beberapa
sumber, termasuk Ali bin Abi Thalib) yang telah berkuda di depan barisan
utama, berhasil menangkap dua orang pembawa persedian air dari pasukan
Mekkah di sumur Badar. Pasukan Muslim sangat terkejut ketika mendengar
para tawanan berkata bahwa mereka bukan berasal dari kafilah dagang,
melainkan berasal dari pasukan utama Quraisy. Karena menduga bahwa
mereka berbohong, para penyelidik memukuli kedua tawanan tersebut sampai
mereka berkata bahwa mereka berasal dari kafilah dagang. Akan tetapi
berdasarkan catatan tradisi, Muhammad kemudian menghentikan tindakan
tersebut.
Beberapa catatan tradisi juga menyatakan bahwa ketika mendengar
nama-nama para bangsawan Quraisy yang menyertai pasukan tersebut, ia
berkata "Itulah Mekkah. Ia telah melemparkan kepada kalian
potongan-potongan hatinya." Hari berikutnya Muhammad memerintahkan melanjutkan pergerakan pasukan ke wadi Badar dan tiba di sana sebelum pasukan Mekkah.
Sumur Badar terletak di lereng yang landai di bagian timur suatu
lembah yang bernama "Yalyal". Bagian barat lembah dipagari oleh sebuah
bukit besar bernama "'Aqanqal". Ketika pasukan Muslim tiba dari arah
timur, Muhammad pertama-tama memilih menempatkan pasukannya pada sumur
pertama yang dicapainya. Tetapi, ia kemudian tampaknya berhasil
diyakinkan oleh salah seorang pejuangnya, untuk memindahkan pasukan ke
arah barat dan menduduki sumur yang terdekat dengan posisi pasukan
Quraisy. Muhammad kemudian memerintahkan agar sumur-sumur yang lain
ditimbuni, sehingga pasukan Mekkah terpaksa harus berperang melawan
pasukan Muslim untuk dapat memperoleh satu-satunya sumber air yang
tersisa.
Rencana pasukan Mekkah
"Semua suku Arab akan mendengar bagaimana kita akan maju ke depan dengan segala kemegahan kita, dan mereka akan mengagumi kita untuk selama-lamanya." - Amr bin Hisyam
Di sisi lain, meskipun tidak banyak yang diketahui mengenai
perjalanan pasukan Quraisy sejak saat mereka meninggalkan Mekkah sampai
dengan kedatangannya di perbatasan Badar, beberapa hal penting dapat
dicatat: adalah tradisi pada banyak suku Arab untuk membawa istri dan
anak-anak mereka untuk memotivasi dan merawat mereka selama pertempuran,
tetapi tidak dilakukan pasukan Mekkah pada perang ini. Selain itu, kaum
Quraisy juga hanya sedikit atau sama sekali tidak menghubungi suku-suku
Badui sekutu mereka yang banyak tersebar di seluruh Hijaz.
Kedua fakta itu memperlihatkan bahwa kaum Quraisy kekurangan waktu
untuk mempersiapkan penyerangan tersebut, karena tergesa-gesa untuk
melindungi kafilah dagang mereka.
Ketika pasukan Quraisy sampai di Juhfah,
sedikit di arah selatan Badar, mereka menerima pesan dari Abu Sufyan
bahwa kafilah dagang telah aman berada di belakang pasukan tersebut,
sehingga mereka dapat kembali ke Mekkah.Pada titik ini, menurut penelitian Karen Armstrong,
muncul pertentangan kekuasaan di kalangan pasukan Mekkah. Amr bin
Hisyam ingin melanjutkan perjalanan, tetapi beberapa suku termasuk Bani Zuhrah dan Bani 'Adi,
segera kembali ke Mekkah. Armstrong memperkirakan suku-suku itu
khawatir terhadap kekuasaan yang akan diraih oleh Amr bin Hisyam, dari
penghancuran kaum Muslim. Sekelompok perwakilan Bani Hasyim yang juga enggan berperang melawan saudara sesukunya, turut pergi bersama kedua suku tersebut.
Di luar beberapa kemunduran itu, Amr bin Hisyam tetap teguh dengan
keinginannya untuk bertempur, dan bersesumbar "Kita tidak akan kembali
sampai kita berada di Badar". Pada masa inilah Abu Sufyan dan beberapa
orang dari kafilah dagang turut bergabung dengan pasukan utama.
Hari pertempuran
Di saat fajar tanggal 17 Maret, pasukan Quraisy membongkar kemahnya
dan bergerak menuju lembah Badar. Telah turun hujan pada hari
sebelumnya, sehingga mereka harus berjuang ketika membawa kuda-kuda dan
unta-unta mereka mendaki bukit 'Aqanqal (beberapa sumber menyatakan
bahwa matahari telah tinggi ketika mereka berhasil mencapai puncak
bukit).
Setelah menuruni bukit 'Aqanqal, pasukan Mekkah mendirikan kemah baru
di dalam lembah. Saat beristirahat, mereka mengirimkan seorang
pengintai, yaitu Umair bin Wahab,
untuk mengetahui letak barisan-barisan Muslim. Umair melaporkan bahwa
pasukan Muhammad berjumlah kecil, dan tidak ada pasukan pendukung Muslim
lainnya yang akan bergabung dalam peperangan.
Akan tetapi ia juga memperkirakan akan ada banyak korban dari kaum
Quraisy bila terjadi penyerangan (salah satu hadits menyampaikan bahwa
ia melihat "unta-unta (Madinah) yang penuh dengan hawa kematian").
Hal tersebut semakin menurunkan moral kaum Quraisy, karena adanya
kebiasaan peperangan suku-suku Arab yang umumnya sedikit memakan korban,
dan menimbulkan perdebatan baru di antara para pemimpin Quraisy.
Meskipun demikian, menurut catatan tradisi Islam, Amr bin Hisyam
membungkam semua ketidak-puasan dengan membangkitkan rasa harga diri
kaum Quraisy dan menuntut mereka agar menuntaskan hutang darah mereka.
Pertempuran diawali dengan majunya pemimpin-pemimpin kedua pasukan
untuk berperang tanding. Tiga orang Anshar maju dari barisan Muslim,
akan tetapi diteriaki agar mundur oleh pasukan Mekkah, yang tidak ingin
menciptakan dendam yang tidak perlu dan menyatakan bahwa mereka hanya
ingin bertarung melawan Muslim Quraisy. Karena itu, kaum Muslim kemudian
mengirimkan Ali, Ubaidah bin al-Harits,
dan Hamzah. Para pemimpin Muslim berhasil menewaskan pemimpin-pemimpin
Mekkah dalam pertarungan tiga lawan tiga, meskipun Ubaidah mendapat luka
parah yang menyebabkan ia wafat.
Selanjutnya kedua pasukan mulai melepaskan anak panah ke arah
lawannya. Dua orang Muslim dan beberapa orang Quraisy yang tidak jelas
jumlahnya tewas. Sebelum pertempuran berlangsung, Muhammad telah
memberikan perintah kepada kaum Muslim agar menyerang dengan
senjata-senjata jarak jauh mereka, dan bertarung melawan kaum Quraisy
dengan senjata-senjata jarak pendek hanya setelah mereka mendekat.Segera setelah itu ia memberikan perintah untuk maju menyerbu, sambil
melemparkan segenggam kerikil ke arah pasukan Mekkah; suatu tindakan
yang mungkin merupakan suatu kebiasaan masyarakat Arab, dan berseru
"Kebingungan melanda mereka!"Pasukan Muslim berseru "Ya manshur, amit!!"
dan mendesak barisan-barisan pasukan Quraisy. Besarnya kekuatan serbuan
kaum Muslim dapat dilihat pada beberapa ayat-ayat al-Qur'an, yang
menyebutkan bahwa ribuan malaikat turun dari Surga pada Pertempuran
Badar untuk membinasakan kaum Quraisy.
Haruslah dicatat bahwa sumber-sumber Muslim awal memahami kejadian ini
secara harafiah, dan terdapat beberapa hadits mengenai Muhammad yang
membahas mengenai Malaikat Jibril
dan peranannya di dalam pertempuran tersebut. Apapun penyebabnya,
pasukan Mekkah yang kalah kekuatan dan tidak bersemangat dalam berperang
segera saja tercerai-berai dan melarikan diri. Pertempuran itu sendiri
berlangsung hanya beberapa jam dan selesai sedikit lewat tengah hari.
Setelah pertempuran
Korban dan tawanan
Imam Bukhari memberikan keterangan bahwa dari pihak Mekkah tujuh puluh orang tewas dan tujuh puluh orang tertawan.
Hal ini berarti 15%-16% pasukan Quraisy telah menjadi korban. Kecuali
bila ternyata jumlah pasukan Mekkah yang terlibat di Badr jauh lebih
sedikit, maka persentase pasukan yang tewas akan lebih tinggi lagi.
Korban pasukan Muslim umumnya dinyatakan sebanyak empat belas orang
tewas, yaitu sekitar 4% dari jumlah mereka yang terlibat peperangan.
Sumber-sumber tidak menceritakan mengenai jumlah korban luka-luka dari
kedua belah pihak, dan besarnya selisih jumlah korban keseluruhan antara
kedua belah pihak menimbulkan dugaan bahwa pertempuran berlangsung
dengan sangat singkat dan sebagian besar pasukan Mekkah terbunuh ketika
sedang bergerak mundur.
Selama terjadinya pertempuran, pasukan Muslim berhasil menawan
beberapa orang Quraisy Mekkah. Perbedaan pendapat segera terjadi di
antara pasukan Muslim mengenai nasib bagi para tawanan tersebut.Kekhawatiran awal ialah pasukan Mekkah akan menyerbu kembali dan kaum
Muslim tidak memiliki orang-orang untuk menjaga para tawanan. Sa'ad dan
Umar berpendapat agar tawanan dibunuh, sedangkan Abu Bakar mengusulkan
pengampunan. Muhammad akhirnya menyetujui usulan Abu Bakar, dan sebagian
besar tawanan dibiarkan hidup, sebagian karena alasan hubungan
kekerabatan (salah seorang adalah menantu Muhammad), keinginan untuk
menerima tebusan, atau dengan harapan bahwa suatu saat mereka akan masuk
Islam (dan memang kemudian sebagian melakukannya). Setidak-tidaknya dua orang penting Mekkah, Amr bin Hisyam
dan Umayyah, tewas pada saat atau setelah Pertempuran Badar. Demikian
pula dua orang Quraisy lainnya yang pernah menumpahkan keranjang kotoran
kambing kepada Muhammad saat ia masih berdakwah di Mekkah, dibunuh
dalam perjalanan kembali ke Madinah.Bilal,
bekas budak Umayyah, begitu berkeinginan membunuhnya sehingga bersama
sekumpulan orang yang membantunya bahkan sampai melukai seorang Muslim
yang ketika itu sedang mengawal Umayyah.
Beberapa saat sebelum meninggalkan Badar, Muhammad memberikan
perintah agar mengubur sekitar dua puluh orang Quraisy yang tewas ke
dalam sumur Badar.
Beberapa hadits menyatakan kejadian ini, yang tampaknya menjadi
penyebabkan kemarahan besar pada kaum Quraisy Mekkah. Segera setelah
itu, beberapa orang Muslim yang baru saja ditangkap sekutu-sekutu Mekkah
dibawa ke kota itu dan dibunuh sebagai pembalasan atas kekalahan yang
terjadi.
Berdasarkan tradisi Mekkah mengenai hutang darah, siapa saja yang
memiliki hubungan darah dengan mereka yang tewas di Badar, haruslah
merasa terpanggil untuk melakukan pembalasan terhadap orang-orang dari
suku-suku yang telah membunuh kerabat mereka tersebut. Pihak Muslim juga
mempunyai keinginan yang besar untuk melakukan pembalasan, karena telah
mengalami penyiksaan dan penganiayaan oleh kaum Quraisy Mekkah selama
bertahun-tahun. Akan tetapi selain pembunuhan awal yang telah terjadi,
para tawanan lainnya yang masih hidup kemudian ditempatkan pada beberapa
keluarga Muslim di Madinah dan mendapat perlakuan yang baik; yaitu
sebagai kerabat atau sebagai sumber potensial untuk mendapatkan uang
tebusan.
Dampak selanjutnya
Pertempuran Badar sangatlah berpengaruh atas munculnya dua orang
tokoh yang akan menentukan arah masa depan Jazirah Arabia pada abad
selanjutnya. Tokoh pertama adalah Muhammad, yang dalam semalam statusnya
berubah dari seorang buangan dari Mekkah, menjadi salah seorang
pemimpin utama. Menurut Karen Armstrong, "selama bertahun-tahun Muhammad
telah menjadi sasaran pencemoohan dan penghinaan; tetapi setelah
keberhasilan yang hebat dan tak terduga itu, semua orang di Arabia mau
tak mau harus menanggapinya secara serius."
Marshall Hodgson menambahkan bahwa peristiwa di Badar memaksa suku-suku
Arab lainnya untuk "menganggap umat Muslim sebagai salah satu penantang
dan pewaris potensial terhadap kewibawaan dan peranan politik yang
dimiliki oleh kaum Quraisy." Kemenangan di Badar juga membuat Muhammad
dapat memperkuat posisinya sendiri di Madinah. Segera setelah itu, ia
mengeluarkan Bani Qainuqa' dari Madinah, yaitu salah satu suku Yahudi yang sering mengancam kedudukan politiknya. Pada saat yang sama, Abdullah bin Ubay, seorang Muslim pemimpin Bani Khazraj
dan penentang Muhammad, menemukan bahwa posisi politiknya di Madinah
benar-benar melemah. Selanjutnya, ia hanya mampu memberikan penentangan
dengan pengaruh terbatas kepada Muhammad.
Tokoh lain yang mendapat keberuntungan besar atas terjadinya Pertempuran Badar adalah Abu Sufyan. Kematian Amr bin Hisyam, serta banyak bangsawan Quraisy lainnya telah memberikan Abu Sufyan peluang, yang hampir seperti direncanakan, untuk menjadi pemimpin bagi kaum Quraisy.
Sebagai akibatnya, saat pasukan Muhammad bergerak memasuki Mekkah enam
tahun kemudian, Abu Sufyan menjadi tokoh yang membantu merundingkan
penyerahannya secara damai. Abu Sufyan pada akhirnya menjadi pejabat
berpangkat tinggi dalam Kekhalifahan Islam, dan anaknya Muawiyah kemudian melanjutkannya dengan mendirikan Kekhalifahan Umayyah.
Keikutsertaan dalam pertempuran di Badar pada masa-masa kemudian menjadi amat dihargai, sehingga Ibnu Ishaq
memasukkan secara lengkap nama-nama pasukan Muslim tersebut dalam
biografi Muhammad yang dibuatnya. Pada banyak hadits, orang-orang yang
bertempur di Badar dinyatakan dengan jelas sebagai sebentuk
penghormatan, bahkan kemungkinan mereka juga menerima semacam santunan
pada tahun-tahun belakangan. Meninggalnya veteran Pertempuran Badar yang terakhir, diperkirakan terjadi saat perang saudara Islam pertama. Menurut Karen Armstrong, salah satu dampak Badar yang paling berkelanjutan kemungkinan adalah kegiatan berpuasa selama Ramadan, yang menurutnya pada awalnya dikerjakan umat Muslim untuk mengenang kemenangan pada Pertempuran Badar.
Meskipun demikian pandangan ini diragukan, karena menurut catatan
tradisi Islam, pasukan Muslim saat itu sedang berpuasa ketika mereka
bergerak maju ke medan pertempuran.
Sumber sejarah
Badar dalam al-Qur'an
Pertempuran Badar adalah salah satu dari sedikit pertempuran yang secara eksplisit dibicarakan dalam al-Qur'an. Nama pertempuran ini bahkan disebutkan pada Surah Ali 'Imran: 123, sebagai bagian dari perbandingan terhadap Pertempuran Uhud.
Sungguh Allah telah menolong kamu dalam Peperangan Badar, padahal kamu adalah (ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertawakallah kepada Allah, supaya kamu mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang Mukmin, "Apakah tidak cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari langit)?" Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda. Ali 'Imran: 123-125
Menurut Yusuf Ali, istilah "syukur" dapat merujuk kepada disiplin. Di
Badar, barisan-barisan Muslim diperkirakan telah menjaga disiplin
secara ketat; sementara di Uhud mereka keluar barisan untuk memburu
orang-orang Mekkah, sehingga membuat pasukan berkuda Mekkah dapat
menyerang dari samping dan menghancurkan pasukan Muslim. Gagasan bahwa
Badar merupakan "pembeda" (furqan), yaitu menjadi kejadian mukjizat dalam Islam, disebutkan lagi dalam surah yang sama ayat 13.
"Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang Muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati." Ali 'Imran:13
Badar juga merupakan pokok pembahasan Surah kedelapan Al-Anfal, yang membahas mengenai berbagai tingkah laku dan kegiatan militer.
"Al-Anfal" berarti "rampasan perang" dan merujuk pada pembahasan pasca
pertempuran dalam pasukan Muslim mengenai bagaimana membagi barang
rampasan dari pasukan Quraisy. Meskipun surah tersebut tidak menyebut
Badar, isinya menggambarkan pertempuran tersebut, serta beberapa ayat
yang umumnya dianggap diturunkan pada saat atau segera setelah
pertempuran tersebut terjadi.
Catatan tradisi Islam
Sesungguhnya seluruh pengetahuan mengenai Pertempuran Badar berasal dari catatan-catatan tradisi Islam, baik berupa hadits
maupun biografi Muhammad, yang dituliskan beberapa puluh tahun setelah
kejadiannya. Ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama,
banyak suku-suku Arab yang hidup di jazirah Arabia buta huruf
dan tradisi oral merupakan cara mereka untuk menyampaikan informasi.
Pada saat Balatentara Islam dapat menaklukkan suku-suku Arab yang lebih
berpendidikan di Suriah dan Irak,
dapat dikatakan seluruh kaum Quraisy telah masuk Islam, sehingga
menghilangkan peluang adanya catatan-catatan non-Muslim mengenai
pertempuran tersebut. Kedua, dengan tersusunnya berbagai kompilasi
hadits, maka naskah-naskah catatan aslinya menjadi tidak dibutuhkan
lagi, dan menurut Hugh Kennedy kemudian dimusnahkan dengan "kecepatan
yang menyedihkan". Terakhir, umumnya umat Muslim yang taat beranggapan bahwa para Muslim yang tewas di Badar adalah para syahid
yang mulia, sehingga besar kemungkinan menjadi kendala bagi usaha yang
sungguh-sungguh untuk melakukan penggalian arkeologis di Badar.
0 comments:
Post a Comment